Sabtu, 18 Juli 2009

Menantikan Birokrasi yang Rakyat-friendly

Akhir-akhir ini semakin banyak peristiwa pengungkapan kasus suap dan koupsi terhadap penyelenggara negara. Hampir setiap hari headline dari berita yang beredar adalah seputar kasus-kasus tersebut. Perilaku korup di Indonesia memang sudah demikian menyedihkan. Setiap jenjang kekuasaan bisa mereka jadikan ladang subur terhadap praktik korupsi. Mulai tingkat kelurahan hingga level pemerintahan. Pejabat dan birokrat Indonesia memang terkenal dengan kegemarannya dalam memperpanjang urusan terhadap sesuatu. Masyarakat sudah paham dengan tingkah laku dan kesenangan para 'pelayan publik' terhadap pungutan liar.

Pemberantasan korupsi yang merugikan negara miliaran bahkan triliunan rupiah memang penting untuk terus diupayakan. Tapi, tentunya masyarakat akan lebih merasakan kebahagiaan jika sesuatu yang berhubungan langsung dengan dirinya berjalan lebih mudah. Hal tersebut dikarenakan setiap kali berurusan dengan pihak birokrasi, masyarakat harus mengeluarkan 'uang ekstra' agar urusannya bisa segera selesai. Sedangkan bagi masyarakat yang enggan memberi 'amplop' pada petugas, maka dapat dipastikan urusannya akan berlarut-larut dan dipersulit. Hal tersebut biasanya terjadi saat masyarakat akan mengurus surat-surat dan dokumen penting, seperti Akta Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, surat pengantar, dan lain-lain.

Pemerintah saat ini sebenarnya telah meluncurkan program "Layanan Satu Atap" untuk mengurangi praktik pungutan liar dan suap yang sudah membudaya. Namun, hasilnya masih belum maksimal. Praktik korupsi para birokrat tetap saja terjadi. Karenanya, mereka butuh pemimpin dan wakil rakyat yang peduli pada kebutuhan keseharian mereka.

Momen pemilu legislatif yang semakin dekat beserta pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai tempat dapat menjadi kesempatan emas bagi masyarakat untuk bisa menikmati kehidupan yang lebih baik di masa depan. Karena sebenarnya nasib negeri ini di masa depan berada di tangan mereka. Merekalah yang menentukan siapa saja orang-orang yang akan duduk di kursi empuk lembaga legislatif atau pemerintahan lewat pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Orang-orang yang mendapat amanah dari masyarakat harus benar-benar memikirkan bagaimana agar masyarakat bisa menjalani kehidupannya dengan tenang. Dan, realisasi dari harapan itu dapat 'diserahkan' pada calon yang relatif bersih, yang bisa dilihat dari kiprah mereka selama ini.

Lalu, jika praktik pungli masih saja mengintai masyarakat, apakah masyarakat harus melibatkan pihak-pihak seperti John Pantau atau Mata Kamera untuk 'menghakimi' mereka di depan layar kaca? Semoga saja tidak!

0 komentar:

Posting Komentar