Wacana tentang perlu dimunculkannya kepemimpinan alternatif semakin santer terdengar seiring dengan makin dekatnya ajang pemilihan umum (Pemilu) tahun 2009. Banyak pihak yang menginginkan tampilnya orang-orang dan wajah baru untuk menjadi pemimpin Indonesia di luar mainstream stok pemimpin lama. Namun, belum ada kesepakatan yang jelas tentang ‘asal’ dari pemimpin alternatif yang mereka butuhkan.
Setidaknya ada tiga macam opsi yang muncul tentang keinginan pihak-pihak yang menghendaki pemimpin alternatif bagi Indonesia. Pertama, pemimpin alternatif tersebut berasal dari kalangan muda—secara usia—yang dianggap lebih dapat mewakili aspirasi masyarakat yang akan dipimpinnya. Kelompok ini berasumsi bahwa pemimpin yang muda usia punya semangat yang menggelora untuk berbuat sebaik mungkin dan masih memiliki idealisme yang tinggi, sehingga tidak mudah diatur oleh kepentingan dan tekanan kelompok tertentu yang ingin mengambil keuntungan pribadi.
Kedua, kelompok yang menghendaki pemimpin yang berasal dari jalur independen alias non-partisan. Mereka menganggap orang-orang yang tidak terlibat dalam partai akan lebih mudah dalam mengambil sebuah kebijakan, tanpa terpengaruh dan terganggu oleh kepentingan partai pengusungnya. Ditambah lagi dengan citra sebagian besar partai yang semakin terpuruk karena berbagai macam pertikaian dan sengketa internal yang ujung-ujungnya hanya disebabkan oleh perebutan kekuasaan, bukan dalam rangka menyejahterakan konstituen yang diwakilinya.
Ketiga, kelompok yang ingin pemimpin masa depan berasal dari pihak yang selama ini bukan bagian dari orang-orang yang sudah pernah memerintah. Artinya, orang yang diusung sebagai pemimpin alternatif adalah benar-benar ‘orang baru’, baik dari jalur independen maupun partai, yang selama ini tidak pernah muncul atau diunggulkan dalam bursa calon pemimpin Indonesia, namun berpotensi besar. Alasan dari kelompok ini adalah agar terjadi pemerataan kesempatan bagi tiap orang untuk menjadi pemimpin negeri ini.
Melihat kepentingan yang ada di masing-masing pihak, rasanya masih sulit untuk mewujudkan harapan akan munculnya pemimpin alternatif di tahun 2009. Apalagi UU Pilpres yang telah disahkan mencantumkan syarat yang cukup besar—20% kursi DPR atau 25% suara dalam pemilu legislatif—sehingga mematikan kesempatan bagi calon independen.
Angan tersebut mungkin dapat direalisasikan jika pihak-pihak tadi bersedia untuk menanggalkan egonya masing-masing untuk duduk bersama dan kemudian memunculkan satu suara untuk mengusung salah satu opsi yang ada serta mendesak dilegalkannya calon independen dalam UU Pilpres.
Kalaupun tahun depan bukan momen yang tepat, setidaknya sejak saat ini sudah mulai dibangun tokoh-tokoh baru kaliber nasional yang diharapkan dapat menjadi pilihan alternatif bagi rakyat dalam pemilu selanjutnya untuk menjadi pemimpin harapan Indonesia…!
sebuah kawasan DPR [Daerah Pinggir Rel] tempatku lahir, tumbuh, dan mengekspresikan diri...
Senin, 20 Juli 2009
Mengusung Pemimpin Alternatif Masa Depan
Label:
Indonesia,
pemimpin alternatif,
pemuda,
pilpres,
suara mahasiswa
Sabtu, 18 Juli 2009
Musim Mudik = Musim Kecelakaan?
Momen Lebaran yang hadir setiap tahun selalu menimbulkan kesibukan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Mereka menyambut hari tersebut dengan penuh suka cita. Dan, satu hal yang sudah menjadi ciri khas masyarakat menjelang akhir bulan Ramadhan adalah melakukan mudik ke kampung halaman. Ya, mudik sudah menjadi tradisi bagi bangsa ini--yang mayoritas beragama Islam--dalam menyambut datangnya hari kemenangan di bulan Syawal.
Walaupun selalu mengalami berbagai hambatan, seperti macet di jalan, kesulitan mendapat karcis atau tiket kendaraan, kelelahan selama dalam perjalanan, kemungkinan mengalami tindak kriminal dan lainnya, termasuk tetap tingginya angka kecelakaan pada momen mudik tersebut yang setiap tahun selalu menyebabkan nyawa ratusan pemudik melayang, namun tidak menyurutkan minat masyarakat untuk tetap melakukan tradisi mudik.
Bila menilik data pihak kepolisian pada 2007 lalu, angka kecelakaan pada arus mudik Lebaran selama H-7 sampai H+7, tercatat korban meninggal 789 orang. Rata-rata kecelakaan yang terjadi adalah yang menggunakan transportasi darat, seperti kereta api, mobil, bus, atau sepeda motor.
Sedangkan pada arus mudik tahun ini (2008) juga sudah terjadi beberapa kecelakaan yang memakan korban jiwa. Diantaranya adalah tabrakan antar bus di daerah Rembang, yang menewaskan tujuh orang dan menyebabkan 32 lainnya luka-luka [SINDO, 30/09]. Menteri Perhubungan, Jusman Syafii Djamal sendiri mengaku telah bekerja keras, namun masih belum dapat membuat angka kecelakaan menjadi nol.
Yang terbaru adalah tabrakan antara Kereta Api dengan mobil pribadi yang terjadi di dua lokasi berbeda, yakni Kabupaten Grobogan dan Klaten Utara , yang menewaskan sepuluh penumpang mobil. Ketiga bentuk kecelakaan tersebut terjadi di daerah Jawa Tengah.
Meski masih banyak terjadi kecelakaan yang menimpa para pemudik, namun Direktur Lalu Lintas, Brigjen Yudi Susharyanto mengatakan korban kecelakaan lalu lintas sudah menurun hingga 50 persen bila dibandingkan hari yang sama pada tahun lalu (2007). Untuk itu, pemerintah berkomitmen dapat menurunkan angka kecelakaan, sehingga terus turun setiap tahunnya.
Memang bila dibandingkan dengan jumlah pemudik tahun ini yang mencapai sekitar 26 juta orang, jumlah pemudik yang menjadi korban kecelakaan terbilang 'kecil'. Namun, hal tersebut tetap disayangkan karena sebagian penyebab dari kecelakaan yang terjadi adalah karena para pemudik masih lalai dan kurang disiplin saat berkendara.
Karenanya, diperlukan kesadaran dari semua pihak agar tradisi mudik bisa berjalan dengan lancar, aman, dan tertib tanpa harus menelan korban jiwa. Jangan sampai niat untuk berbagi kebahagiaan di kampung halaman harus pupus karena kelalaian dari pengendara dan para pemudik yang kurang sabar dalam perjalanan.
Walaupun selalu mengalami berbagai hambatan, seperti macet di jalan, kesulitan mendapat karcis atau tiket kendaraan, kelelahan selama dalam perjalanan, kemungkinan mengalami tindak kriminal dan lainnya, termasuk tetap tingginya angka kecelakaan pada momen mudik tersebut yang setiap tahun selalu menyebabkan nyawa ratusan pemudik melayang, namun tidak menyurutkan minat masyarakat untuk tetap melakukan tradisi mudik.
Bila menilik data pihak kepolisian pada 2007 lalu, angka kecelakaan pada arus mudik Lebaran selama H-7 sampai H+7, tercatat korban meninggal 789 orang. Rata-rata kecelakaan yang terjadi adalah yang menggunakan transportasi darat, seperti kereta api, mobil, bus, atau sepeda motor.
Sedangkan pada arus mudik tahun ini (2008) juga sudah terjadi beberapa kecelakaan yang memakan korban jiwa. Diantaranya adalah tabrakan antar bus di daerah Rembang, yang menewaskan tujuh orang dan menyebabkan 32 lainnya luka-luka [SINDO, 30/09]. Menteri Perhubungan, Jusman Syafii Djamal sendiri mengaku telah bekerja keras, namun masih belum dapat membuat angka kecelakaan menjadi nol.
Yang terbaru adalah tabrakan antara Kereta Api dengan mobil pribadi yang terjadi di dua lokasi berbeda, yakni Kabupaten Grobogan dan Klaten Utara , yang menewaskan sepuluh penumpang mobil. Ketiga bentuk kecelakaan tersebut terjadi di daerah Jawa Tengah.
Meski masih banyak terjadi kecelakaan yang menimpa para pemudik, namun Direktur Lalu Lintas, Brigjen Yudi Susharyanto mengatakan korban kecelakaan lalu lintas sudah menurun hingga 50 persen bila dibandingkan hari yang sama pada tahun lalu (2007). Untuk itu, pemerintah berkomitmen dapat menurunkan angka kecelakaan, sehingga terus turun setiap tahunnya.
Memang bila dibandingkan dengan jumlah pemudik tahun ini yang mencapai sekitar 26 juta orang, jumlah pemudik yang menjadi korban kecelakaan terbilang 'kecil'. Namun, hal tersebut tetap disayangkan karena sebagian penyebab dari kecelakaan yang terjadi adalah karena para pemudik masih lalai dan kurang disiplin saat berkendara.
Karenanya, diperlukan kesadaran dari semua pihak agar tradisi mudik bisa berjalan dengan lancar, aman, dan tertib tanpa harus menelan korban jiwa. Jangan sampai niat untuk berbagi kebahagiaan di kampung halaman harus pupus karena kelalaian dari pengendara dan para pemudik yang kurang sabar dalam perjalanan.
Label:
kecelakaan,
lebaran,
mudik,
suara mahasiswa
Bangkitlah Negeriku, Harapan Itu Masih Ada
Menapaki 80 tahun peringatan Hari Sumpah Pemuda di tahun ini, semakin banyak pihak yang menyuarakan pentingnya memberikan kesempatan bagi para pemuda Indonesia untuk tampil menjadi pemimpin bangsa. Mereka berharap para pemuda dapat ambil bagian dalam menentukan arah bangsa di masa depan dengan menjadi pemimpin yang progresif dan independen. Ditambah lagi dengan masih kentalnya semangat juang serta idealisme yang dimiliki para pemuda, yang mencirikan insan yang peduli pada perbaikan kondisi bangsa. Hal tersebut didukung dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden di tahun 2009, sehingga momen pemilu mendatang diharapkan dapat menjadi ajang bagi tampilnya pemimpin muda bagi Indonesia.
Sejarah sendiri telah mencatat, bahwa perjalanan bangsa ini tidak pernah terlepas dari peran pemuda di dalamnya. Mulai dari zaman penggalangan kekuatan dalam melawan penjajah yang dipelopori berdirinya Budi Utomo, ikrar Sumpah Pemuda, semasa kemerdekaan, hingga digulingkannya rezim Orde Baru dan memasuki era reformasi sekarang ini, semuanya menempatkan pemuda sebagai bagian penting peristiwa tersebut.
Isi Sumpah Pemuda yang diikrarkan delapan dekade yang lalu harus terus digelorakan pada setiap pemuda-pemudi di tanah air. Bahwa setiap Warga Negara Indonesia memiliki satu tanah air, satu bahasa, dan satu bangsa, yakni Indonesia.
Konflik-konflik yang terjadi di berbagai belahan bumi pertiwi tidak boleh dibiarkan keberlangsungannya. Perbedaan pendapat yang muncul di antara elemen bangsa jangan sampai menciptakan disintegrasi yang dapat mengancam keutuhan NKRI.
Dengan potensi alam yang sangat melimpah serta SDM yang besar, Indonesia harus dapat bangkit dari segala bentuk keterpurukan yang menerpa. Setiap pemuda Indonesia dapat menjalankan peranannya masing-masing—sekecil apapun—sebagai usaha untuk mempercepat kebangkitan negeri ini, seperti yang telah seabad lalu dikumandangkan oleh Budi Utomo.
Kesempatan bagi Indonesia untuk tampil sebagai negara besar dan diperhitungkan dalam kancah global akan tetap terbuka selama tiap elemen bangsa tetap menjaga keutuhan bangsa serta memberikan sumbangsihnya dengan penuh semangat dan tentunya tetap menyertakan peran penting pemuda di dalamnya. Yakinlah, bahwa negeri ini bisa bangkit karena harapan itu masih ada dalam dada setiap anak negeri di seluruh belahan bumi pertiwi!
Sejarah sendiri telah mencatat, bahwa perjalanan bangsa ini tidak pernah terlepas dari peran pemuda di dalamnya. Mulai dari zaman penggalangan kekuatan dalam melawan penjajah yang dipelopori berdirinya Budi Utomo, ikrar Sumpah Pemuda, semasa kemerdekaan, hingga digulingkannya rezim Orde Baru dan memasuki era reformasi sekarang ini, semuanya menempatkan pemuda sebagai bagian penting peristiwa tersebut.
Isi Sumpah Pemuda yang diikrarkan delapan dekade yang lalu harus terus digelorakan pada setiap pemuda-pemudi di tanah air. Bahwa setiap Warga Negara Indonesia memiliki satu tanah air, satu bahasa, dan satu bangsa, yakni Indonesia.
Konflik-konflik yang terjadi di berbagai belahan bumi pertiwi tidak boleh dibiarkan keberlangsungannya. Perbedaan pendapat yang muncul di antara elemen bangsa jangan sampai menciptakan disintegrasi yang dapat mengancam keutuhan NKRI.
Dengan potensi alam yang sangat melimpah serta SDM yang besar, Indonesia harus dapat bangkit dari segala bentuk keterpurukan yang menerpa. Setiap pemuda Indonesia dapat menjalankan peranannya masing-masing—sekecil apapun—sebagai usaha untuk mempercepat kebangkitan negeri ini, seperti yang telah seabad lalu dikumandangkan oleh Budi Utomo.
Kesempatan bagi Indonesia untuk tampil sebagai negara besar dan diperhitungkan dalam kancah global akan tetap terbuka selama tiap elemen bangsa tetap menjaga keutuhan bangsa serta memberikan sumbangsihnya dengan penuh semangat dan tentunya tetap menyertakan peran penting pemuda di dalamnya. Yakinlah, bahwa negeri ini bisa bangkit karena harapan itu masih ada dalam dada setiap anak negeri di seluruh belahan bumi pertiwi!
Label:
bangkit,
Indonesia,
pemuda,
suara mahasiswa,
sumpah pemuda
Jadilah Penyelamat Bumi
Akhir Agustus lalu menjadi momen buruk bagi negara AS, India, dan China. Karena pada waktu yang hampir bersamaan, ketiga negara tersebut mengalami bencana dahsyat. Badai Gustav melanda Kota New Orleans, AS, setelah tiga tahun lalu Badai Katrina juga menerjang kota yang sama. India mengalami banjir bandang yang memaksa ratusan ribu warganya mengungsi. Sedangkan di China terjadi gempa bumi berkekuatan sekitar 5.7 SR yang mengakibatkan sedikitnya 250 ribu rumah hancur. Ketiga kejadian tersebut seakan menjadi bentuk nyata dari ‘protes’ alam terhadap ulah manusia dewasa ini yang tidak dapat menjaga lingkungannya secara bertanggung jawab. Kehidupan manusia saat ini yang serba instan membawa dampak yang sungguh merugikan peradaban dunia.
Di Indonesia sendiri, menurut catatan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam menyebutkan bahwa dalam rentang 1998-2004, telah terjadi sebanyak 1.150 kali bencana alam dalam berbagai bentuknya, seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan kebakaran. Kerugian yang ditimbulkan dari bencana tersebut juga tidak sedikit, baik secara materi maupun korban jiwa.
Sebagai usaha untuk mengantisipasi terjadinya bencana dan kerusakan alam yang makin parah, para aktivis lingkungan hidup secara berkala terus mengampanyekan tentang pentingnya peran serta masyarakat dalam melestarikan lingkungan hidup, agar pencemaran di darat, air, dan udara dapat diminimalisir. Tuntutan terhadap pemerintah juga dilayangkan, agar lebih tegas terhadap pelaku perusak alam. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk ikut menjadi bagian dari ‘pahlawan’ lingkungan?
Hal sederhana yang bisa kita lakukan adalah tidak membuang sampah sembarangan, menggunakan kertas-kertas bekas yang masih bisa dimanfaatkan, mengurangi penggunaan plastik, memakai listrik dan air seperlunya, tidak merokok, memperbanyak pot-pot tanaman di sekitar rumah, atau mengurangi penggunaan kendaraan bermotor bila masih bisa dilakukan dengan bersepeda atau bahkan berjalan kaki.
Daripada kita terus menunggu tanpa kepastian munculnya kesadaran dari para perusak alam dan tindakan tegas dari aparat yang berwenang terhadap mereka, lebih baik kita memulai pelestarian lingkungan dari diri sendiri. Mungkin akan sangat tepat bila kita menganut prinsip “Talk Less, Do More” seperti yang dikatakan salah satu iklan. Jangan terlalu banyak berbicara dan beretorika, namun miskin bahkan tanpa realisasi dan implementasi.
Penting juga bagi kita untuk menganut semboyan 3M yang dicetuskan ‘Aa Gym, “Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, dan Mulai saat ini.” Walaupun kontribusinya rendah, namun bila dilakukan secara konsisten, maka dampaknya pun akan terasa besar bagi peradaban dunia, khususnya Indonesia. Yakinlah kalau kita bisa menjadi penyelamat bumi tercinta!
Di Indonesia sendiri, menurut catatan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam menyebutkan bahwa dalam rentang 1998-2004, telah terjadi sebanyak 1.150 kali bencana alam dalam berbagai bentuknya, seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan kebakaran. Kerugian yang ditimbulkan dari bencana tersebut juga tidak sedikit, baik secara materi maupun korban jiwa.
Sebagai usaha untuk mengantisipasi terjadinya bencana dan kerusakan alam yang makin parah, para aktivis lingkungan hidup secara berkala terus mengampanyekan tentang pentingnya peran serta masyarakat dalam melestarikan lingkungan hidup, agar pencemaran di darat, air, dan udara dapat diminimalisir. Tuntutan terhadap pemerintah juga dilayangkan, agar lebih tegas terhadap pelaku perusak alam. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk ikut menjadi bagian dari ‘pahlawan’ lingkungan?
Hal sederhana yang bisa kita lakukan adalah tidak membuang sampah sembarangan, menggunakan kertas-kertas bekas yang masih bisa dimanfaatkan, mengurangi penggunaan plastik, memakai listrik dan air seperlunya, tidak merokok, memperbanyak pot-pot tanaman di sekitar rumah, atau mengurangi penggunaan kendaraan bermotor bila masih bisa dilakukan dengan bersepeda atau bahkan berjalan kaki.
Daripada kita terus menunggu tanpa kepastian munculnya kesadaran dari para perusak alam dan tindakan tegas dari aparat yang berwenang terhadap mereka, lebih baik kita memulai pelestarian lingkungan dari diri sendiri. Mungkin akan sangat tepat bila kita menganut prinsip “Talk Less, Do More” seperti yang dikatakan salah satu iklan. Jangan terlalu banyak berbicara dan beretorika, namun miskin bahkan tanpa realisasi dan implementasi.
Penting juga bagi kita untuk menganut semboyan 3M yang dicetuskan ‘Aa Gym, “Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang kecil, dan Mulai saat ini.” Walaupun kontribusinya rendah, namun bila dilakukan secara konsisten, maka dampaknya pun akan terasa besar bagi peradaban dunia, khususnya Indonesia. Yakinlah kalau kita bisa menjadi penyelamat bumi tercinta!
Label:
badai Gustav,
banjir,
bencana alam,
lingkungan,
suara mahasiswa
Menantikan Birokrasi yang Rakyat-friendly
Akhir-akhir ini semakin banyak peristiwa pengungkapan kasus suap dan koupsi terhadap penyelenggara negara. Hampir setiap hari headline dari berita yang beredar adalah seputar kasus-kasus tersebut. Perilaku korup di Indonesia memang sudah demikian menyedihkan. Setiap jenjang kekuasaan bisa mereka jadikan ladang subur terhadap praktik korupsi. Mulai tingkat kelurahan hingga level pemerintahan. Pejabat dan birokrat Indonesia memang terkenal dengan kegemarannya dalam memperpanjang urusan terhadap sesuatu. Masyarakat sudah paham dengan tingkah laku dan kesenangan para 'pelayan publik' terhadap pungutan liar.
Pemberantasan korupsi yang merugikan negara miliaran bahkan triliunan rupiah memang penting untuk terus diupayakan. Tapi, tentunya masyarakat akan lebih merasakan kebahagiaan jika sesuatu yang berhubungan langsung dengan dirinya berjalan lebih mudah. Hal tersebut dikarenakan setiap kali berurusan dengan pihak birokrasi, masyarakat harus mengeluarkan 'uang ekstra' agar urusannya bisa segera selesai. Sedangkan bagi masyarakat yang enggan memberi 'amplop' pada petugas, maka dapat dipastikan urusannya akan berlarut-larut dan dipersulit. Hal tersebut biasanya terjadi saat masyarakat akan mengurus surat-surat dan dokumen penting, seperti Akta Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, surat pengantar, dan lain-lain.
Pemerintah saat ini sebenarnya telah meluncurkan program "Layanan Satu Atap" untuk mengurangi praktik pungutan liar dan suap yang sudah membudaya. Namun, hasilnya masih belum maksimal. Praktik korupsi para birokrat tetap saja terjadi. Karenanya, mereka butuh pemimpin dan wakil rakyat yang peduli pada kebutuhan keseharian mereka.
Momen pemilu legislatif yang semakin dekat beserta pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai tempat dapat menjadi kesempatan emas bagi masyarakat untuk bisa menikmati kehidupan yang lebih baik di masa depan. Karena sebenarnya nasib negeri ini di masa depan berada di tangan mereka. Merekalah yang menentukan siapa saja orang-orang yang akan duduk di kursi empuk lembaga legislatif atau pemerintahan lewat pelaksanaan pemilu dan pilkada.
Orang-orang yang mendapat amanah dari masyarakat harus benar-benar memikirkan bagaimana agar masyarakat bisa menjalani kehidupannya dengan tenang. Dan, realisasi dari harapan itu dapat 'diserahkan' pada calon yang relatif bersih, yang bisa dilihat dari kiprah mereka selama ini.
Lalu, jika praktik pungli masih saja mengintai masyarakat, apakah masyarakat harus melibatkan pihak-pihak seperti John Pantau atau Mata Kamera untuk 'menghakimi' mereka di depan layar kaca? Semoga saja tidak!
Pemberantasan korupsi yang merugikan negara miliaran bahkan triliunan rupiah memang penting untuk terus diupayakan. Tapi, tentunya masyarakat akan lebih merasakan kebahagiaan jika sesuatu yang berhubungan langsung dengan dirinya berjalan lebih mudah. Hal tersebut dikarenakan setiap kali berurusan dengan pihak birokrasi, masyarakat harus mengeluarkan 'uang ekstra' agar urusannya bisa segera selesai. Sedangkan bagi masyarakat yang enggan memberi 'amplop' pada petugas, maka dapat dipastikan urusannya akan berlarut-larut dan dipersulit. Hal tersebut biasanya terjadi saat masyarakat akan mengurus surat-surat dan dokumen penting, seperti Akta Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, surat pengantar, dan lain-lain.
Pemerintah saat ini sebenarnya telah meluncurkan program "Layanan Satu Atap" untuk mengurangi praktik pungutan liar dan suap yang sudah membudaya. Namun, hasilnya masih belum maksimal. Praktik korupsi para birokrat tetap saja terjadi. Karenanya, mereka butuh pemimpin dan wakil rakyat yang peduli pada kebutuhan keseharian mereka.
Momen pemilu legislatif yang semakin dekat beserta pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai tempat dapat menjadi kesempatan emas bagi masyarakat untuk bisa menikmati kehidupan yang lebih baik di masa depan. Karena sebenarnya nasib negeri ini di masa depan berada di tangan mereka. Merekalah yang menentukan siapa saja orang-orang yang akan duduk di kursi empuk lembaga legislatif atau pemerintahan lewat pelaksanaan pemilu dan pilkada.
Orang-orang yang mendapat amanah dari masyarakat harus benar-benar memikirkan bagaimana agar masyarakat bisa menjalani kehidupannya dengan tenang. Dan, realisasi dari harapan itu dapat 'diserahkan' pada calon yang relatif bersih, yang bisa dilihat dari kiprah mereka selama ini.
Lalu, jika praktik pungli masih saja mengintai masyarakat, apakah masyarakat harus melibatkan pihak-pihak seperti John Pantau atau Mata Kamera untuk 'menghakimi' mereka di depan layar kaca? Semoga saja tidak!
Label:
birokrasi,
janji politik,
pungli,
suara mahasiswa
Kamis, 16 Juli 2009
Catat dan Tagih Janji Para Politisi
Perhelatan pesta demokrasi yang semakin dekat, menambah kesibukan para politisi dan partai politik. Mereka beramai-ramai tampil menjadi orang yang bercitra baik dan sosok yang berpihak pada kepentingan rakyat. Masing-masing tampil bak pahlawan bagi masyarakat.
Hal tersebut berkait dengan munculnya banyak pihak yang memanfaatkan kondisi yang sedang terjadi di Indonesia. Mulai dari kasus penjualan saham Indosat dan gas alam cair Tangguh yang dianggap merugikan negara triliunan rupiah, serta penyuapan beberapa anggota dewan dalam pemilihan Deputi Gubernur BI yang dilakukan oleh pemerintahan terdahulu beserta anggota fraksi pendukungnya, hingga kenaikan harga BBM yang ketiga kalinya dilakukan oleh pemerintahan saat ini, yang juga dianggap semakin menyengsarakan kehidupan rakyat.
Masing-masing politisi yang ada di gedung dewan sibuk membela sejawatnya di lembaga eksekutif. Fraksi yang menjadi pendukung dari kebijakan pemerintah (sebelumnya dan saat ini) yang terindikasi merugikan negara melakukan pembelaan habis-habisan. Sedangkan pihak oposisi memanfaatkan momen tersebut untuk menjatuhkan lawan politiknya. Mereka menjadi pihak terdepan dalam mengungkap kasus-kasus tersebut. Suasana pun semakin panas.
Bagi masyarakat, hal tersebut memang cukup ‘melegakan’, karena mereka menjadi terbuka matanya terhadap tingkah polah politisi yang telah menipu mereka, sehingga masyarakat tahu mana saja politisi yang tidak lagi layak mendapat dukungan mereka. Namun, sayangnya yang terjadi adalah pengungkapan kasus-kasus tersebut menjadi isu nasional hanya sekedar politisasi belaka demi keuntungan kelompok mereka sendiri, bukan karena keberpihakan pada kepentingan rakyat.
Sekarang bukan zamannya lagi menjadi korban dari ‘kelicikan’ para politisi. Sebagai masyarakat yang cerdas harus mengambil pelajaran berharga dan hikmah dari kondisi yang sudah terjadi akibat memilih wakil rakyat yang tidak tepat. Dengan sisa waktu yang ada, rasanya cukup bagi masyarakat untuk mengamati track record dari para politisi yang akan maju dan partai politik pengusungnya serta kiprah nyatanya selama ini bagi rakyat. Cermati pula janji-janji yang dibuat oleh para politisi. Kita juga bisa mencatat setiap janji politik mereka dan menagihnya saat mereka benar-benar menjadi wakil di gedung dewan.
Hal tersebut berkait dengan munculnya banyak pihak yang memanfaatkan kondisi yang sedang terjadi di Indonesia. Mulai dari kasus penjualan saham Indosat dan gas alam cair Tangguh yang dianggap merugikan negara triliunan rupiah, serta penyuapan beberapa anggota dewan dalam pemilihan Deputi Gubernur BI yang dilakukan oleh pemerintahan terdahulu beserta anggota fraksi pendukungnya, hingga kenaikan harga BBM yang ketiga kalinya dilakukan oleh pemerintahan saat ini, yang juga dianggap semakin menyengsarakan kehidupan rakyat.
Masing-masing politisi yang ada di gedung dewan sibuk membela sejawatnya di lembaga eksekutif. Fraksi yang menjadi pendukung dari kebijakan pemerintah (sebelumnya dan saat ini) yang terindikasi merugikan negara melakukan pembelaan habis-habisan. Sedangkan pihak oposisi memanfaatkan momen tersebut untuk menjatuhkan lawan politiknya. Mereka menjadi pihak terdepan dalam mengungkap kasus-kasus tersebut. Suasana pun semakin panas.
Bagi masyarakat, hal tersebut memang cukup ‘melegakan’, karena mereka menjadi terbuka matanya terhadap tingkah polah politisi yang telah menipu mereka, sehingga masyarakat tahu mana saja politisi yang tidak lagi layak mendapat dukungan mereka. Namun, sayangnya yang terjadi adalah pengungkapan kasus-kasus tersebut menjadi isu nasional hanya sekedar politisasi belaka demi keuntungan kelompok mereka sendiri, bukan karena keberpihakan pada kepentingan rakyat.
Sekarang bukan zamannya lagi menjadi korban dari ‘kelicikan’ para politisi. Sebagai masyarakat yang cerdas harus mengambil pelajaran berharga dan hikmah dari kondisi yang sudah terjadi akibat memilih wakil rakyat yang tidak tepat. Dengan sisa waktu yang ada, rasanya cukup bagi masyarakat untuk mengamati track record dari para politisi yang akan maju dan partai politik pengusungnya serta kiprah nyatanya selama ini bagi rakyat. Cermati pula janji-janji yang dibuat oleh para politisi. Kita juga bisa mencatat setiap janji politik mereka dan menagihnya saat mereka benar-benar menjadi wakil di gedung dewan.
Label:
caleg,
janji politik,
politisi,
suara mahasiswa
Matikan Karir Politiknya
Pelaksanaan pemilu legislatif yang kurang dari satu tahun, membuat banyak pihak menjadi sibuk. Mulai dari KPU, partai politik, lembaga survei, LSM dan pengamat politik, hingga para calon anggota legislatif (caleg). Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
Jika para caleg berlomba-lomba untuk melobi partainya agar mendapat nomor urut kecil, lain halnya dengan yang dilakukan oleh sejumlah LSM dan pengamat politik. Mereka membentuk Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (Ganti Polbus) yang dideklarasikan pada 22 Mei 2008 di Tugu Proklamasi sebagai reaksi terhadap masih maraknya politisi busuk yang ‘berkeliaran’ di gedung anggota dewan dan lembaga eksekutif. Lalu, apa kriteria untuk politisi busuk?
Menurut versi Ganti Polbus terdapat beberapa kriteria bagi seseorang yang tergolong politisi busuk. Pertama, orang yang boros, tamak, dan korup/terlibat KKN. Kedua, penjahat dan pencemar lingkungan hidup dan hutan. Ketiga, pelanggar HAM atau yang memberikan perlindungan bagi pelanggar HAM. Keempat, terlibat tindakan kriminal dan perbuatan amoral. Kelima, pemakai narkoba dan pelindung bisnis narkoba. Dan keenam, mangkir dari tugasnya sebagai anggota dewan/tidak amanah, sehingga fungsinya sebagai wakil rakyat tidak berjalan. Sayangnya, UU Pemilu No. 10/2008 tidak mencantumkan kriteria tersebut untuk mencegah seorang politisi busuk kembali berlaga di jajaran anggota dewan dan pemerintahan.
Banyak pihak yang menyatakan bahwa Pemilu legislatif merupakan ajang atau ‘Hari Penghakiman’ terhadap para politisi busuk. Untuk itu, masyarakatlah yang dapat menjadi harapan terakhir bagi bangsa ini agar tidak lagi memberi ruang bagi para politisi busuk untuk terpilih kembali. Caranya adalah dengan menekan partai pengusung caleg tersebut untuk membatalkan pencalonannya atau memberi sanksi politik, yakni tidak memilih mereka saat hari pemilihan tiba. Atau dengan kata lain, “Matikan saja karir politiknya!” Mungkin hal tersebut terdengar kejam karena tidak memberi kesempatan bagi politisi busuk untuk memperbaiki dirinya, namun sepertinya hal tersebut lebih baik daripada masyarakat kembali menjadi korban akibat perbuatan mereka yang tidak bertanggung jawab dan menyebabkan kerugian yang jauh lebih besar.
Mari kita cegah para politisi busuk untuk kembali beraktivitas dan menikmati uang rakyat di lembaga terhormat yang tidak layak bagi orang-orang seperti mereka. Masyarakat Indonesia harus cerdas dalam memilih wakil-wakilnya. Karena masih ada anggota dewan dan pejabat publik yang tetap konsisten dengan niatnya untuk menyejahterakan rakyat. Jangan lagi tergiur oleh janji-janji surga yang diobral oleh para caleg. Jangan pula mengorbankan hak pilih hanya karena imbalan beberapa ribu rupiah atau beberapa kilogram sembako. Ayo, bersama kita hukum politisi busuk!!!
Link: Matikan Karir Politiknya
Jika para caleg berlomba-lomba untuk melobi partainya agar mendapat nomor urut kecil, lain halnya dengan yang dilakukan oleh sejumlah LSM dan pengamat politik. Mereka membentuk Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (Ganti Polbus) yang dideklarasikan pada 22 Mei 2008 di Tugu Proklamasi sebagai reaksi terhadap masih maraknya politisi busuk yang ‘berkeliaran’ di gedung anggota dewan dan lembaga eksekutif. Lalu, apa kriteria untuk politisi busuk?
Menurut versi Ganti Polbus terdapat beberapa kriteria bagi seseorang yang tergolong politisi busuk. Pertama, orang yang boros, tamak, dan korup/terlibat KKN. Kedua, penjahat dan pencemar lingkungan hidup dan hutan. Ketiga, pelanggar HAM atau yang memberikan perlindungan bagi pelanggar HAM. Keempat, terlibat tindakan kriminal dan perbuatan amoral. Kelima, pemakai narkoba dan pelindung bisnis narkoba. Dan keenam, mangkir dari tugasnya sebagai anggota dewan/tidak amanah, sehingga fungsinya sebagai wakil rakyat tidak berjalan. Sayangnya, UU Pemilu No. 10/2008 tidak mencantumkan kriteria tersebut untuk mencegah seorang politisi busuk kembali berlaga di jajaran anggota dewan dan pemerintahan.
Banyak pihak yang menyatakan bahwa Pemilu legislatif merupakan ajang atau ‘Hari Penghakiman’ terhadap para politisi busuk. Untuk itu, masyarakatlah yang dapat menjadi harapan terakhir bagi bangsa ini agar tidak lagi memberi ruang bagi para politisi busuk untuk terpilih kembali. Caranya adalah dengan menekan partai pengusung caleg tersebut untuk membatalkan pencalonannya atau memberi sanksi politik, yakni tidak memilih mereka saat hari pemilihan tiba. Atau dengan kata lain, “Matikan saja karir politiknya!” Mungkin hal tersebut terdengar kejam karena tidak memberi kesempatan bagi politisi busuk untuk memperbaiki dirinya, namun sepertinya hal tersebut lebih baik daripada masyarakat kembali menjadi korban akibat perbuatan mereka yang tidak bertanggung jawab dan menyebabkan kerugian yang jauh lebih besar.
Mari kita cegah para politisi busuk untuk kembali beraktivitas dan menikmati uang rakyat di lembaga terhormat yang tidak layak bagi orang-orang seperti mereka. Masyarakat Indonesia harus cerdas dalam memilih wakil-wakilnya. Karena masih ada anggota dewan dan pejabat publik yang tetap konsisten dengan niatnya untuk menyejahterakan rakyat. Jangan lagi tergiur oleh janji-janji surga yang diobral oleh para caleg. Jangan pula mengorbankan hak pilih hanya karena imbalan beberapa ribu rupiah atau beberapa kilogram sembako. Ayo, bersama kita hukum politisi busuk!!!
Link: Matikan Karir Politiknya
Label:
caleg,
politik,
politisi busuk,
suara mahasiswa
Momen untuk Bangkit dari Keterpurukan
Di usianya yang menginjak angka 63 pada tahun ini (2008), Indonesia masih dihadapkan dengan beragam persoalan yang tak kunjung henti. Persoalan-persoalan tersebut bertubi-tubi menghampiri bangsa kita silih berganti. Mulai dari masalah ekonomi, seperti krisis yang belum berakhir, kenaikan harga minyak dunia yang berefek pada melonjaknya harga BBM dan sembako di dalam negeri, sampai kelangkaan minyak tanah di berbagai daerah. Belum lagi bencana Lumpur Lapindo yang belum terlihat ujung pangkal dan penyelesaiannya yang menguntungkan korban dan warga sekitar yang terkena luapan.
Dalam kehidupan bernegara, tindak-tanduk para pemimpin yang semakin semena-mena, korupsi yang terus merajalela sampai makin gencarnya aksi mafia peradilan membuat rakyat terus menjadi korban terhadap perilaku minus mereka. Semua masalah tersebut memang membuat Indonesia semakin terpuruk sebagai sebuah bangsa dalam kancah global.
Namun, semuanya masih dapat diatasi dengan keyakinan penuh bahwa Indonesia bisa bangkit dari segala keterpurukan yang menghadang. Momen peringatan hari kemerdekaan yang ke-63 dan seabad kebangkitan nasional dapat dijadikan modal dasar bagi kita untuk berubah menjadi bangsa yang lebih bermartabat.
Kita patut melakukan kilas balik terhadap perjalanan bangsa ini dalam meraih kemerdekaan. Para pahlawan dengan penuh keikhlasan mengorbankan jiwa dan raga demi tercapainya Indonesia yang merdeka. Mereka mengenyampingkan ego pribadi dan tetap mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan mereka walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Sudah selayaknyalah para pemegang pucuk kepemimpinan di Indonesia untuk berkaca terhadap semangat dan keikhlasan para pahlawan kemerdekaan. Mereka seharusnya mengambil pelajaran berharga dengan tidak melakukan korupsi untuk memperkaya diri atau selalu mengakomodir dan menomorsatukan kepentingan golongan atau partainya dengan mengabaikan kebutuhan dari rakyat yang memilih mereka.
Semoga dengan momen tersebut, para pemimpin negeri ini tersadar untuk kembali memperbaiki niatnya dalam berjuang merealisasikan janji-janjinya di masa kampanye untuk bisa menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya...
Dalam kehidupan bernegara, tindak-tanduk para pemimpin yang semakin semena-mena, korupsi yang terus merajalela sampai makin gencarnya aksi mafia peradilan membuat rakyat terus menjadi korban terhadap perilaku minus mereka. Semua masalah tersebut memang membuat Indonesia semakin terpuruk sebagai sebuah bangsa dalam kancah global.
Namun, semuanya masih dapat diatasi dengan keyakinan penuh bahwa Indonesia bisa bangkit dari segala keterpurukan yang menghadang. Momen peringatan hari kemerdekaan yang ke-63 dan seabad kebangkitan nasional dapat dijadikan modal dasar bagi kita untuk berubah menjadi bangsa yang lebih bermartabat.
Kita patut melakukan kilas balik terhadap perjalanan bangsa ini dalam meraih kemerdekaan. Para pahlawan dengan penuh keikhlasan mengorbankan jiwa dan raga demi tercapainya Indonesia yang merdeka. Mereka mengenyampingkan ego pribadi dan tetap mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan mereka walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Sudah selayaknyalah para pemegang pucuk kepemimpinan di Indonesia untuk berkaca terhadap semangat dan keikhlasan para pahlawan kemerdekaan. Mereka seharusnya mengambil pelajaran berharga dengan tidak melakukan korupsi untuk memperkaya diri atau selalu mengakomodir dan menomorsatukan kepentingan golongan atau partainya dengan mengabaikan kebutuhan dari rakyat yang memilih mereka.
Semoga dengan momen tersebut, para pemimpin negeri ini tersadar untuk kembali memperbaiki niatnya dalam berjuang merealisasikan janji-janjinya di masa kampanye untuk bisa menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya...
Label:
bangkit,
Indonesia,
refleksi,
suara mahasiswa
Ironi Bangsa Merdeka
Memasuki usianya yang ke-63, Indonesia—bila disetarakan dengan usia manusia—idealnya sudah memasuki fase atau tahap ‘menuai hasil’. Maksudnya adalah saat ini bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar seharusnya sudah menikmati proses pembangunan yang telah dicanangkan sejak REPELITA [Rencana Pembangunan Lima Tahun] Pertama pada tahun 1969. Sehingga, idealnya rakyat Indonesia di usianya yang sekarang sedang menikmati hasil-hasil pembangunan yang telah dilakukan. Sumber Daya Alam yang melimpah ruah menjadi salah satu modal utama bagi pencapaian kesejahteraan bangsa, di samping potensi berupa tenaga manusia (SDM) yang sangat besar.
Ironisnya, di usia yang cukup mapan bagi seorang manusia, Indonesia masih menghadapi berbagai macam persoalan yang menghambat tercapainya kesejahteraan rakyatnya. Satu dari sekian banyak masalah utama tersebut adalah makin ‘membudayanya’ praktik korupsi dan suap di negeri yang terkenal ramah ini, seperti yang ditunjukkan oleh hasil survey Lembaga Transparency International yang menempatkan Indonesia di peringkat 143 dari 180 negara di dunia dalam Indeks Persepsi Korupsi pada tahun 2007.
Bukanlah sesuatu yang menjadi aib lagi bagi seseorang untuk melakukan tindakan korupsi terhadap hak-hak rakyat dan masyarakat. Bahkan saat ini muncul istilah yang cukup memalukan dan memerahkan telinga bagi orang yang masih ‘lurus pikirannya’, yakni praktik korupsi berjamaah. Ya, korupsi tidak lagi dilakukan oleh orang per orang, tapi sudah melingkupi kelompok-kelompok, sehingga kerugian yang dihasilkan pun semakin besar.
Sebagaimana telah diketahui bersama, belakangan ini ramai diberitakan tentang korupsi dan praktik suap terhadap oknum kejaksaan dan anggota dewan kita. Hal tersebut sungguh mencoreng kredibilitas pihak kejaksaan sebagai salah satu penegak hukum di negeri ini dan anggota DPR yang ‘sebenarnya’ telah menjadi pilihan rakyat secara langsung, untuk memperjuangkan berbagai macam kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Semua tindakan tersebut sangat menghambat proses pembangunan bangsa. Potensi alam dan SDM yang dimiliki Indonesia menjadi seperti tidak memiliki arti karena terus diselewengkan oleh para pemilik kekuasaan di negeri ini. Dampaknya adalah tidak tercapainya tujuan awal dari proses pembangunan yang telah ditetapkan. Rakyat untuk kesekian kalinya kembali dirugikan dan menjadi korban.
Dengan semangat kemerdekaan, kita harus bangkit dari segala keterpurukan yang telah menerpa. Mental-mental manusia Indonesia harus segera dibebaskan dari segala pikiran busuk dan niat kotor yang nantinya akan menyengsarakan bangsa kita sendiri. Dan, kita harus percaya dan terus mengobarkan semangat serta keyakinan dalam diri setiap insan Indonesia bahwa harapan untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat itu masih dan tetap ada. Semoga...!!!
Ironisnya, di usia yang cukup mapan bagi seorang manusia, Indonesia masih menghadapi berbagai macam persoalan yang menghambat tercapainya kesejahteraan rakyatnya. Satu dari sekian banyak masalah utama tersebut adalah makin ‘membudayanya’ praktik korupsi dan suap di negeri yang terkenal ramah ini, seperti yang ditunjukkan oleh hasil survey Lembaga Transparency International yang menempatkan Indonesia di peringkat 143 dari 180 negara di dunia dalam Indeks Persepsi Korupsi pada tahun 2007.
Bukanlah sesuatu yang menjadi aib lagi bagi seseorang untuk melakukan tindakan korupsi terhadap hak-hak rakyat dan masyarakat. Bahkan saat ini muncul istilah yang cukup memalukan dan memerahkan telinga bagi orang yang masih ‘lurus pikirannya’, yakni praktik korupsi berjamaah. Ya, korupsi tidak lagi dilakukan oleh orang per orang, tapi sudah melingkupi kelompok-kelompok, sehingga kerugian yang dihasilkan pun semakin besar.
Sebagaimana telah diketahui bersama, belakangan ini ramai diberitakan tentang korupsi dan praktik suap terhadap oknum kejaksaan dan anggota dewan kita. Hal tersebut sungguh mencoreng kredibilitas pihak kejaksaan sebagai salah satu penegak hukum di negeri ini dan anggota DPR yang ‘sebenarnya’ telah menjadi pilihan rakyat secara langsung, untuk memperjuangkan berbagai macam kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Semua tindakan tersebut sangat menghambat proses pembangunan bangsa. Potensi alam dan SDM yang dimiliki Indonesia menjadi seperti tidak memiliki arti karena terus diselewengkan oleh para pemilik kekuasaan di negeri ini. Dampaknya adalah tidak tercapainya tujuan awal dari proses pembangunan yang telah ditetapkan. Rakyat untuk kesekian kalinya kembali dirugikan dan menjadi korban.
Dengan semangat kemerdekaan, kita harus bangkit dari segala keterpurukan yang telah menerpa. Mental-mental manusia Indonesia harus segera dibebaskan dari segala pikiran busuk dan niat kotor yang nantinya akan menyengsarakan bangsa kita sendiri. Dan, kita harus percaya dan terus mengobarkan semangat serta keyakinan dalam diri setiap insan Indonesia bahwa harapan untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat itu masih dan tetap ada. Semoga...!!!
Label:
Indonesia,
merdeka,
refleksi,
suara mahasiswa
Mahasiswa Harus Anti-Anarkisme
Mahasiswa, yang menjadi harapan bagi masyarakat akan perubahan bangsa yang lebih baik di masa depan, memiliki peran penting dalam memberikan edukasi pada masyarakat. Salah satunya adalah pendidikan politik (political education).
Sebagai mahasiswa sekaligus kaum intelektual, mereka bisa memberi contoh dan teladan terhadap sikap altruisme kalangan mahasiswa yang tinggi. Hampir setiap orang yang menyandang status sebagai mahasiswa memiliki idealisme yang tinggi. Mereka akan berteriak lantang dan kontra terhadap setiap bentuk penyelewengan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar mereka.
Kepedulian seorang mahasiswa terhadap kondisi masyarakat pun dapat ‘dibanggakan’. Setiap kebijakan pemerintah yang mereka rasa tidak berpihak pada kepentingan rakyat, maka dapat dipastikan tidak lama kemudian mereka akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran untuk menentang kebijakan tersebut.
Salah satu bukti nyata adalah demo terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) belum lama ini. Di sini mahasiswa memiliki peran sebagai pihak yang melakukan kontrol terhadap setiap kebijakan yang ditelurkan pemerintah.
Sebagai pengontrol, mahasiswa memberikan contoh pada masyarakat bahwa setiap bentuk kebijakan yang tidak pro-rakyat harus dikritisi. Masyarakat ‘diajarkan’ untuk menyuarakan sikap dan segala keluh kesahnya sebagai dampak dari aturan yang ditetapkan pemerintah. Cara yang ditempuh dalam menyalurkan keinginan mereka tentunya harus dengan cara yang santun, tertib, dan bijak.
Hal inilah yang terkadang agak terlupa oleh para mahasiswa yang berdemonstrasi. Mereka sering membuat jalanan macet karena aksi yang dilakukan atau bentrok dengan aparat yang berjaga. Akhirnya, aksi yang niat awalnya ingin ‘membela’ kepentingan masyarakat malah berbalik menjadi aksi pengganggu aktivitas masyarakat dan kemudian muncullah antipati dari masyarakat terhadap mahasiswa yang berdemo, karena dianggap hanya mengganggu aktivitas mereka sehari-hari.
Karenanya, mahasiswa harus senantiasa menjaga niat baik dan sikapnya dalam setiap aksi yang mereka lakukan. Harus diingat pula bahwa aksi yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan masyarakat, sehingga cara yang ditempuh pun harus dengan cara yang tepat agar masyarakat benar-benar merasa terwakili aspirasinya. Bukankah untuk mencapai sesuatu yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula?
Sebagai mahasiswa sekaligus kaum intelektual, mereka bisa memberi contoh dan teladan terhadap sikap altruisme kalangan mahasiswa yang tinggi. Hampir setiap orang yang menyandang status sebagai mahasiswa memiliki idealisme yang tinggi. Mereka akan berteriak lantang dan kontra terhadap setiap bentuk penyelewengan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar mereka.
Kepedulian seorang mahasiswa terhadap kondisi masyarakat pun dapat ‘dibanggakan’. Setiap kebijakan pemerintah yang mereka rasa tidak berpihak pada kepentingan rakyat, maka dapat dipastikan tidak lama kemudian mereka akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran untuk menentang kebijakan tersebut.
Salah satu bukti nyata adalah demo terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) belum lama ini. Di sini mahasiswa memiliki peran sebagai pihak yang melakukan kontrol terhadap setiap kebijakan yang ditelurkan pemerintah.
Sebagai pengontrol, mahasiswa memberikan contoh pada masyarakat bahwa setiap bentuk kebijakan yang tidak pro-rakyat harus dikritisi. Masyarakat ‘diajarkan’ untuk menyuarakan sikap dan segala keluh kesahnya sebagai dampak dari aturan yang ditetapkan pemerintah. Cara yang ditempuh dalam menyalurkan keinginan mereka tentunya harus dengan cara yang santun, tertib, dan bijak.
Hal inilah yang terkadang agak terlupa oleh para mahasiswa yang berdemonstrasi. Mereka sering membuat jalanan macet karena aksi yang dilakukan atau bentrok dengan aparat yang berjaga. Akhirnya, aksi yang niat awalnya ingin ‘membela’ kepentingan masyarakat malah berbalik menjadi aksi pengganggu aktivitas masyarakat dan kemudian muncullah antipati dari masyarakat terhadap mahasiswa yang berdemo, karena dianggap hanya mengganggu aktivitas mereka sehari-hari.
Karenanya, mahasiswa harus senantiasa menjaga niat baik dan sikapnya dalam setiap aksi yang mereka lakukan. Harus diingat pula bahwa aksi yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan masyarakat, sehingga cara yang ditempuh pun harus dengan cara yang tepat agar masyarakat benar-benar merasa terwakili aspirasinya. Bukankah untuk mencapai sesuatu yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula?
Label:
demo,
mahasiswa,
pendidikan politik,
suara mahasiswa
Langganan:
Postingan (Atom)