Kamis, 10 September 2009

Politik Budaya antara Malaysia dan Suriname

Di dunia ini ada dua negara yang disokong secara signifikan oleh imigran Indonesia, yang pertama adalah Malaysia dan kedua Suriname. Di samping itu, di Belanda juga terdapat komunitas Jawa atau Indonesia yang cukup signifikan.

TKI yang tersebar di seluruh dunia sebenarnya jumlahnya cukup besar, tetapi tidak sampai berpengaruh pada kebudayaan karena tempat dan peran yang berpencar. Suriname adalah sebuah negara di Benua Afrika dengan penduduk yang multietnis berjumlah hanya sekitar setengah juta orang.

Etnik Jawa merupakan salah satu dari tiga etnik terbesar di samping Hindustan sebesar 135.000, Maroons 72.000 lebih, dan Jawa hampir 72.000 atau sekitar 15%. Sejarah masuknya pekerja Jawa ke Suriname dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda yang juga mengadministrasi Suriname.

Karena adanya peraturan pembebasan budak, saat Suriname kekurangan tenaga kerja, pemerintah Hindia Belanda pun merekrut tenaga kerja Indonesia untuk dipekerjakan di sektor perkebunan. Upah yang relatif tinggi, yaitu 40 sen gulden untuk pria dan 30 sen gulden untuk wanita per hari, tentu saja lebih besar atau menjadi daya tarik keluarga petani dari Indonesia.

Kepindahan orang Jawa ke Suriname bukan paksaan, melainkan sukarela dengan daya tarik upah. Sejak 1890 sampai awal abad ke-20 diberangkatkan sampai 33.000. Tahun-tahun itu di Eropa sudah terjadi revolusi perburuhan di mana serikat pekerja mulai diizinkan dan upah menjadi perkecualian harga yang tidak ditentukan oleh mekanisme pasar, tetapi melalui tawar-menawar atau perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja dan tentu saja pemerintah yang berkepentingan agar industri tetap tumbuh.

Pekerja-pekerja Jawa yang datang ke Suriname bagaimanapun adalah orang merdeka. Sebagai tenaga kerja yang merdeka mereka bisa mengembangkan diri dan menjaga kebudayaan. Bahasa Jawa masih digunakan sampai sekarang, bahkan tidak lebur dan disebut sebagai budaya yang kuat.

Budaya-budaya umum seperti Ramadan dan saling berkunjung saat Idul Fitri yang merupakan budaya keagamaan khas Indonesia tentu ditemukan di sana. Suriname adalah anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Mereka bisa mengapresiasi kesenian sampai setaraf wayang kulit dengan diundangnya beberapa dalang untuk pentas di sana, tetapi karena diduga yang berangkat hanya setingkat pekerja, mereka tidak bisa mengembangkannya sendiri.

Wayang kulit terlalu rumit dan tinggi untuk bisa dimainkan dengan baik. Kesenian rakyat yang lebih mudah dimainkan seperti reog ponorogo sebenarnya lebih mudah dikembangkan di Suriname. Namun seperti TKI sekarang yang dihimpit ekonomi, sulit dibayangkan membawa peralatan reog yang cukup mahal dalam bermigrasi; di sini peran politik kebudayaan global seharusnya dilakukan.

Sekarang, marilah kita bandingkan dengan negara serumpun Malaysia. Hubungan dengan Malaysia tentu saja sudah sangat lama, sama dengan usia manusia Melanesia itu sendiri. Sebelum negara formal dibentuk, hubungan budaya, perdagangan, dan ketenagakerjaan dengan Malaysia tercipta sangat alami.

Studi Profesor Ida Bagus Mantra (1998) menyebutkan adanya gelombang migrasi dari sejak awal abad ke-20 untuk memenuhi kebutuhan pekerja perkebunan Pemerintah Inggris di Malaysia. Gelombang pekerja masuk ke Malaysia dari berbagai daerah, antara lain Nusa Tenggara Barat dan Timur, Bawean, dan gelombang migrasi dari Sumatera yang bahkan berlangsung jauh sebelum masa itu.

Orang-orang Bawean yang pergi haji ke Mekkah sering bekerja dulu di Malaysia dan Singapura dan banyak orang sekembalinya dari Mekkah menetap di Malaysia. Dalam sensus pada 1950 saja sudah ditemukan hampir 190.000 orang berasal dari Jawa, 60.000 dari Kalimantan Barat, 26.000 dari Sumatera, 24.000 dari Bawean, dan 7.000 dari Sulawesi. Data itu masih ditambah TKI akhir-akhir ini yang mencapai lebih dari 1,2 juta orang.


Pertanyaannya, mengapa Suriname yang jauh rasanya justru dekat dibandingkan dengan Malaysia yang sangat dekat dan migrasinya berlangsung alami sejak lama? Budaya Jawa yang dikembangkan di Suriname membuat kita bangga dan rela bahwa bahasa Jawa dan budayanya dibawa begitu jauh. Suriname adalah duta Jawa. Malaysia tentu saja memiliki akar budaya yang sama bukan saja dengan Melayu, tetapi juga dengan Bawean, Jawa, dan NTB.

Namun mengapa Malaysia sekarang terasa jauh? Pertama karena Malaysia diadministrasi oleh Inggris dan kita oleh Belanda. Dua administrasi tersebut membawa dampak politik setelah terbentuknya negara modern. Kedua, konflik antara Soekarno dengan ekonomi komandonya dan Barat dengan ekonomi pasar yang berbasis kapital.

Malaysia disebut sebagai antek Barat oleh Soekarno karena lebih dulu menerima ekonomi pasar dan peran kapital dalam mengembangkan perkebunan dan industrinya. Tanpa sadar kita memiliki rivalitas dengan Malaysia. Perbedaan pilihan politik dan ekonomi tidak menghalangi masyarakat dan budayanya yang lebih longgar dari administrasi negara.

Penduduk Indonesia yang besar dan eksperimen ekonomi komando Soekarno yang gagal mengakibatkan upah dan penghasilan umum yang rendah. Sementara kapital dan pasar serta ekspor ke negara asal kapital berhasil menciptakan lapangan kerja dan upah yang lebih tinggi di Malaysia. Hal tersebut mendorong lebih deras TKI baik yang legal maupun ilegal yang tidak lain adalah hubungan budaya yang sudah lama terjadi sebelum lahirnya negara dan administrasi negara modern.

Sekarang Indonesia adalah negara kapitalis dengan mekanisme pasar yang datang agak terlambat dibandingkan Malaysia. Era Orde Baru memang sudah mulai membuka diri, tetapi era Reformasi adalah era di mana pasar dan kapital bekerja lebih jauh. Pasar artinya kesukarelaan atau kemerdekaan sepanjang terdapat informasi yang terbuka, misalnya kasus penganiayaan; kita tidak dapat menghalangi warga untuk memasuki Malaysia.

Perbedaan upah dan nasib di dalam negeri yang tidak lebih manusiawi mungkin mendorong TKI, khususnya TKW, untuk tetap mengadu nasib ke negeri jiran itu. Negara adalah politik, pabean, dan hukum, sedangkan kebudayaan dan lalu tenaga kerja berinteraksi lebih merdeka dan sukarela. Politik budaya kita di mancanegara juga harus dipikirkan ulang.

Kita harus mengkaji apakah bahasa Jawa dan budaya Jawa masih bertahan di Suriname, ini adalah aset nasional yang ke depan bisa sangat bermakna secara politis dan ekonomis. Lihatlah China, budayanya dikembangkan di mana-mana, tari leong dibawa ke Indonesia, bahkan dimainkan bersama dengan pribumi. Di London perayaan Imlek diramaikan oleh warga setempat. Rumah makan China di Chinatown di London diserbu oleh konsumen yang mayoritas orang setempat.

Di jalan protokol Washington setengah kilometer dari gedung putih terpampang gerbang "Anda memasuki Chinatown" dan sepanjang jalan itu tulisan China, makanan China, dan ritel sangat signifikan. Harga-harga tanah di jalan protokol itu mahal. China bukan saja tidak melarang budayanya dikembangkan oleh imigrannya, tetapi bahkan mungkin didukung penuh oleh negara.

Sekarang jika turis ingin membeli oleh-oleh dari Washington dengan harga murah akan dibawa ke factory outlet (FO) di mana dijual barang-barang yang diimpor dari China oleh imigran China sendiri. Harga jual di FO sekitar seperlima sampai seperenam dibanding harga suvenir di toko lain. Hubungan dan wawasan global China berhasil membuat internal trading skala dunia dan membawa cadangan devisa sangat kuat.

China dapat memainkan cadangan devisanya apabila secara politik terganggu oleh Barat. Ditambah dengan kemampuan teknologinya China menyeruak menjadi superpower dunia. Semua itu dijalankan dengan skenario dan tidak dengan hura-hura serta aksi reaktif.

Prof Bambang Setiaji 
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sumber: Politik Budaya antara Malaysia dan Suriname

0 komentar:

Posting Komentar