Kinerja Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century segera memasuki babak akhir. Pandangan awal fraksi-fraksi di DPR pun telah disampaikan. Hasilnya dapat dilihat bahwa dari sembilan fraksi yang ada, hanya Partai Demokrat (PD) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menilai bahwa pemberian bailout sudah sesuai dengan prosedur dan tidak menunjukkan indikasi pelanggaran. Sedangkan sisanya menganggap terdapat indikasi pidana korupsi dalam proses pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP), Penyertaan Modal Sementara (PMS), dan pengucuran bailout ke Bank Century.
Berangkat dari hal tersebut, muncul wacana dari Partai Demokrat sebagai partai pendukung utama Presiden SBY untuk melakukan evaluasi terhadap mitra koalisi pemerintah yang mengambil sikap berseberangan dalam Pansus Bank Century ini, yakni Partai Golkar (PG), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain itu, isu untuk melakukan reshuffle terhadap anggota kabinet yang berasal dari partai koalisi, khususnya PG dan PKS —seperti yang dilontarkan oleh Sekjen DPP PD Amir Syamsuddin—juga semakin berhembus kencang.
Hal yang menjadi ganjil, mengapa isu tentang reshuffle bisa sampai muncul ke permukaan dan dikaitkan dengan kinerja anggota partai koalisi yang duduk dalam Pansus Century? Karena seharusnya isu reshuffle muncul jika memang menteri-menteri yang bersangkutan telah terbukti tidak melaksanakan tugasnya dengan baik (baca: gagal). Tetapi yang terjadi tidak demikian.
Kesan yang timbul kemudian adalah Partai Demokrat merasa ‘dikhianati’ oleh mitra koalisinya karena terus-menerus bersikap vokal dengan menyudutkan posisi Boediono dan Sri Mulyani yang dianggap paling bertanggung jawab atas kucuran dana Rp 6,7 triliun ke Bank Century. Ditambah lagi, tuntutan agar SBY ikut bertanggung jawab semakin membuat ‘gerah’ jajaran PD. Dan, hal tersebut memunculkan wacana untuk ‘memecat’ menteri-menteri yang berasal dari partai yang berkoalisi dengan pemerintahan SBY-Boediono sebagai salah satu bentuk ‘ancaman’ agar sikap anggota pansus ‘melunak’.
Akhirnya, muncul pula pendapat bahwa di antara partai-partai koalisi melakukan aksi gertak untuk menaikkan posisi tawarnya (bargaining position) terhadap pemerintah. Begitu pula yang dilakukan oleh PD terhadap mitra koalisinya, dengan ‘mengancam’ akan menarik jabatan menteri yang sudah dipegang oleh anggota koalisi.
Lalu, sebenarnya apakah maksud dari koalisi yang telah dibangun di antara PD sebagai pimpinan koalisi dengan mitra koalisinya (PG, PKS, PAN, dan PPP)? Jika koalisi yang dimaksud adalah selalu memiliki suara bulat terhadap apapun yang dilakukan anggota koalisi, bahkan saat langkah yang diambil keliru atau salah, maka sungguh sangat miris. Karena koalisi dibangun bukan untuk menghimpun kekuatan dalam rangka menegakkan keadilan di bumi pertiwi, tapi justru untuk saling mendukung dalam hal yang buruk pula.
Sebagai masyarakat, kita hanya bisa berharap agar pemerintahan dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan rasa keadilan dan kebenaran dalam setiap tindakan yang akan diambil. Bukannya berkoalisi untuk berkolusi, yakni hanya mencari keuntungan untuk partai dan kelompoknya dengan mencari kawan untuk menipu rakyat serta menutupi kebusukan yang telah mereka perbuat secara berjama’ah.
Link: Koalisi atau Kolusi?