Kemelut yang terjadi di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampak semakin melebar saja. Perseteruan dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pun semakin meruncing. Terjadi aksi saling lapor dan tuduh antar kedua lembaga tersebut.
Asal mula konflik antara KPK dan Polri tersebut berawal dari testimoni yang dibuat oleh mantan Ketua KPK, Antasari Azhar pada 6 Juli 2009, yang menyebutkan ada penerimaan suap dan pemerasan oleh pimpinan KPK. Dan, berdasarkan laporan tersebut, Polri kemudian menetapkan dua pimpinan KPK sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang sehubungan dengan keluarnya surat cekal terhadap bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo, terkait dugaan korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan, serta pencabutan cekal terhadap tersangka kasus Bank Bali, Djoko Tjandra.
Kabar terakhir adalah dua orang Wakil Ketua KPK (nonaktif) tersebut, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, melalui tim kuasa hukumnya melaporkan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri, Komisaris Jenderal (Pol) Susno Duadji ke Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri. Pelaporan tersebut berkenaan dengan dugaan penyimpangan kewenangan dalam proses pengusutan perkara dugaan suap Rp 5,15 miliar kepada KPK. Selain itu, Susno juga ditengarai terlibat dalam skandal Bank Century yang diperkirakan merugikan negara Rp 6,7 triliun.
Keadaan tersebut menjadi semakin panas seiring dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 4 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah ditandatangani Presiden SBY.
Munculnya Perppu tersebut—yang memerintahkan untuk memilih tiga orang Pelaksana Tugas (Plt) sementara KPK berdasarkan rekomendasi Tim Lima—menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Pihak yang kontra menganggap bahwa keluarnya Perppu bisa mengancam independensi KPK sebagai institusi pemberantas korupsi di Indonesia.
Seperti yang diungkapkan oleh Guru Besar FH UI yang juga mantan anggota tim seleksi pimpinan KPK, Hikmahanto Juwana dalam diskusi bertema “Selamatkan KPK-Lawan Korupsi!” di Jakarta pada Senin lalu. Ia menilai keluarnya Perppu bertentangan dengan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002 yang berbunyi “KPK harus independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.” Untuk itu, Hikmahanto berpendapat bahwa sebaiknya Perppu yang telah keluar dimatisurikan saja. Pendapat senada muncul dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai langkah yang diambil Polri dapat melemahkan KPK karena mencuatnya isu ini bersamaan dengan pernyataan KPK untuk menelusuri dugaan keterlibatan Kabareskrim Mabes Polri dalam kasus Bank Century (okezone, 29/9). Selain itu, kemelut yang terjadi dikhawatirkan ditunggangi oleh para koruptor yang gerah dengan kiprah KPK selama ini.
Sedangkan pihak yang pro menyatakan bahwa keluarnya Perppu merupakan langkah yang tepat untuk menyelamatkan KPK dari keruntuhan, dikarenakan tiga orang pimpinannya saat ini sedang tersandung masalah hukum. Hal tersebut dianggap dapat menghambat kinerja KPK dalam memberantas korupsi yang sudah menggerogoti kehidupan bangsa ini, sehingga memang diperlukan tambahan personil untuk membantu tugas dua pimpinan KPK yang tersisa.
Masyarakat sendiri semakin dibuat bingung menyaksikan konflik tersebut. Semoga dalam waktu dekat kita dapat melihat kembali kiprah KPK yang gemilang dalam memberangus tindakan korupsi di negeri tercinta ini. Bukannya sibuk dengan perseteruan yang tidak akan menghasilkan prestasi yang membuat masyarakat bangga dan lega memiliki lembaga penegak hukum tersebut. Sebab kondisi seperti ini dapat membuat para koruptor bersuka cita dikarenakan institusi yang selama ini tampil garang sedang mengalami kemandekan. Dan, tawa para koruptor yang bernafas lega dengan adanya konflik ini harus segera diakhiri!
0 komentar:
Posting Komentar