Jumat, 25 September 2009

Pengguna Opera Mini Tembus 30 Juta

OSLO - Opera mengklaim pengguna Opera Mini mencapai 30 juta pengguna. Bahkan sepanjang Agustus, Opera berani mengklaim jika pertumbuhan pengguna baru hampir terjadi setiap detik.

Hingga saat ini, tercatat hampir sekira 31,9 juta orang menelusuri dunia maya menggunakan browser ponsel besutan perusahaan asal Norwegia itu. Jumlah ini meningkat sekira 9,9 persen dibandingkan Juli 2009 dan meningkat sekira 147 persen jika dibandingkan periode Agustus 2008.

Laporan bulanan yang dikeluarkan Opera juga mengungkapkan, pada Agustus 2009 jumlah halaman yang dibuka oleh 31,9 juta pengguna opera mencapai 13,9 miliar halaman situs. Keseluruhan trafik data pengguna Opera pada bulan Agustus mencapai 209 juta MB di seluruh dunia.

Sedangkan untuk urutan negara dengan jumlah pengguna Opera terbesar adalah Rusia, Indonesia, India, China, Ukraina, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Nigeria, Inggris, dan Polandia.

"Tak ada yang berubah untuk urutan 10 besar negara pengguna Opera," ujar CEO Opera Jon von Tetzchner dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/9/2009).

Negara-negara lain yang memiliki pertumbuhan pengguna Opera Mini paling cepat sepanjang Juli-Agustus, antara lain Australia (52%), Georgia (34%), Vietnam (20%), Kenya (19%), France (16%), Philippines (15%), Brazil (14%), Kazakhstan (13%), Pakistan (11%), dan Malaysia (10%).

"Opera Mini membuktikan bahwa kunci untuk melanjutkan pertumbuhan mobile web adalah tersedianya sebuah browser yang lengkap," kata Tetzchner.

Diungkapkan Tetzchner, Opera telah berusaha keras untuk mendorong agar Opera Mini bisa beroperasi di setiap ponsel, karena misi Opera adalah membawa Situs Internet ke seluruh dunia, dan ponsel merupakan alat komunikasi paling penting untuk mewujudkan misi itu.

Sumber: Pengguna Opera Mini Tembus 30 Juta

Sabtu, 12 September 2009

Tari Pendet, Terima Kasih Malaysia

Pada saat Malaysia "merdeka" pada 31 Agustus 1957, kita bangsa Indonesia terkaget-kaget karena mereka telah memilih lagu kebangsaannya, sebuah lagu yang sangat populer dinyanyikan di banyak tempat di Indonesia pada masa itu.

Itu adalah sebuah lagu yang mendekati irama langgam keroncong dan terkenal dengan nama (judul) Terang Bulan Terang di Kali. Mencermati syairnya, isinya jauh sekali dari jargon-jargon kepahlawanan dan patriotisme seperti yang dibutuhkan dalam sebuah lagu kebangsaan pada umumnya.

Syairnya antara lain berbunyi: "Terang bulan terang di kali, buaya timbul disangka mati. Jangan percaya mulut lelaki, berani sumpah tetapi takut mati." Lagu yang sangat "jenaka". Pemerintah Indonesia saat itu sampai perlu untuk mengumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tidak lagi menyanyikan lagu itu karena telah menjadi lagu kebangsaan negara tetangga kita Malaysia.

Itulah awal Indonesia "kehilangan" sesuatu pada saat negara Malaysia berdiri. Ternyata kehilangan tersebut berlanjut terus. Minggu ini, Indonesia dihebohkan lagi dengan munculnya klaim Malaysia atas tari pendet setelah sebelumnya mengklaim angklung, reog ponorogo, batik, dan beberapa lainnya.

Pada waktu lagu Terang Bulan Terang di Kali diambil Malaysia untuk lagu kebangsaannya, mungkin kita semua tersenyum geli dan kemudian merelakannya karena merasa kasihan, untuk lagu kebangsaan saja kok memilih lagu itu?

Kita pun menghormatinya dan kemudian menghentikan menyanyikan lagu tersebut. Sirnalah lagu Terang Bulan Terang di Kali dari Bumi Pertiwi. Tidak demikian yang terjadi berikutnya, yaitu tentang batik, angklung, reog ponorogo, dan terakhir tari pendet. Kita semua "marah". Pantaskah kita marah?


Sebelum telanjur mengumbar kemarahan, marilah kita melihat ke belakang sejenak. Pada saat 1950-an dan awal 1960-an, kita mengenal yang namanya Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Dikenal dengan nama Kementrian P dan K. Saya masih ingat, konon salah satu menteri yang terkenal di posisi itu adalah Prof Dr Prijono.

Mungkin karena namanya Pendidikan dan Kebudayaan, masuklah banyak unsur kebudayaan ke dalam program pendidikan saat itu. Terutama tentu saja di pendidikan dasar. Di Sekolah Rakyat--yang sekarang dikenal dengan SD--dan di SMP, para murid dikenalkan dengan banyak pelajaran kesenian seperti menyanyi, menari, menggambar, main angklung.

Lomba antarsekolah juga diselenggarakan secara berkala. Anak-anak merasa sangat senang mengikuti kegiatan ini. Beberapa perlombaan menyanyi atau paduan suara sekolah dan solo dilombakan dan babak akhirnya dilaksanakan di Gedung Kesenian Jakarta yang terletak di dekat Pasar Baru.

Demikian pula dengan angklung dan menari. Di saat yang sama, dikenal pula kelompok paduan suara yang bagus, pimpinan Gordon Tobing.Gordon Tobing memainkan gitar akustik dan kelompoknya menyanyikan lagu-lagu rakyat Indonesia keluarga semisal lagu Rasa Sayange. Lagu-lagu ini sering sekali disiarkan melalui RRI Jakarta.

Dalam beberapa upacara kenegaraan dan dalam kesempatan menerima tamu negara, yang selalu muncul adalah paduan suara Gordon Tobing dengan lagu-lagu rakyatnya, juga tari-tari Bali seperti tari pendet. Gemanya tersiar ke seluruh negeri, antara lain melalui media massa, termasuk RRI.

Di banyak kesempatan peristiwa besar seperti Konferensi Asia Afrika, Asian Games, Conference of The New Emerging Forces (Conefo), dan kehadiran tamu negara, lagu-lagu rakyat Indonesia, tarian-tarian daerah Indonesia, angklung, reog ponorogo, bahkan kampanye nasional penggunaan batik selalu hadir di tengah-tengah kegiatan tersebut.

Itu milik kita dan selalu hadir di tengah-tengah kita dengan penuh kebanggaan, pada waktu itu. Kelompok paduan suara Gordon Tobing bahkan pernah melanglang buana sampai ke Eropa membawakan lagu-lagu sejenis Rasa Sayange. Saat 17 Agustusan, hampir semua sekolah di Jakarta mengirimkan murid-muridnya memenuhi halaman Istana Merdeka untuk bernyanyi lagu-lagu perjuangan. Bukan hanya sedikit perwakilan saja seperti belakangan ini.


Sekarang ini, bila melihat bidang pendidikan, anak-anak sekarang kemungkinan besar belum pernah memegang angklung di sekolahnya, apalagi memainkannya. Lagu-lagu? Mungkin mereka kebanyakan lebih mengenal Michael Jackson.

Perlombaan paduan suara antarsekolah dengan lagu Indonesia nyaris tidak pernah diketahui, diselenggarakan atau tidak? Media televisi lebih disibukkan dengan berita tentang teroris dan penyelenggaraan kuis bertemu jodoh serta berbagai jenis kuis berhadiah yang menjurus ke perjudian.

Lebih parah lagi, sebagaimana pernah dikatakan Permadi di televisi, bila menonton televisi di Indonesia, hampir selama 24 jam kita selalu disuguhi berita tentang tawuran di mana-mana. Di antaranya kisruh tentang pilkada, mahasiswa dan pelajar berkelahi. Sama sekali tidak ada ketenteraman, apalagi berharap menonton reog ponorogo, permainan angklung, batik, dan sebagainya.

Jauh panggang dari api. Generasi muda sibuk dengan Valentine Day dan membentuk kelompok fans MU di mana-mana. Melihat semua ini, Malaysia yang sangat jeli melihat peluang pariwisata yang dapat dijual dengan barang budaya memanfaatkan kondisi ini. Menyadari bahwa mereka tidak memiliki apa-apa yang pantas untuk dijual, Malaysia pun kemudian dengan cerdas mengidentikkan dirinya dengan "Asia", Malaysia Truly Asia, katanya.

Maka diambillah dengan sistematis barang-barang budaya Indonesia bernilai tinggi yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi oleh si empunya. Satu per satu digulirkan dengan cerdas, mulai dari batik, wayang, Rasa Sayange, dan seterusnya sampai dengan tari pendet.

Seolah mereka tahu, Indonesia akan marah, tapi sebentar saja setelah itu lupa, kemudian mulai lagi dengan lainnya dan seterusnya. Toh, pikir mereka, sekali lagi sang empunya sudah tidak berselera lagi untuk menggunakannya. Nah, pantaskah kita kemudian marah? Marah, berdasarkan pengalaman, sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Berintrospeksi mungkin akan sangat berguna bagi kita semua.

Terkaget-kaget kita melihat satu per satu karya seni bernilai tinggi milik kita diklaim Malaysia. Namun, mungkin kita justru perlu berterima kasih kepada Malaysia yang telah mengingatkan kita kembali akan karya seni kita yang sangat tinggi nilainya itu yang tengah dan telah kita lupakan bersama.

Kearifan berpikir dibutuhkan sebelum kita mengambil keputusan untuk melangkah. Kita tidak menyadari karya seni yang kita miliki ternyata bernilai tinggi sampai Malaysia harus bersusah payah membuktikannya terlebih dahulu. Sungguh menyedihkan!

Chappy Hakim 
Chairman Indset

Sumber: Tari Pendet, Terima Kasih Malaysia

Kamis, 10 September 2009

Politik Budaya antara Malaysia dan Suriname

Di dunia ini ada dua negara yang disokong secara signifikan oleh imigran Indonesia, yang pertama adalah Malaysia dan kedua Suriname. Di samping itu, di Belanda juga terdapat komunitas Jawa atau Indonesia yang cukup signifikan.

TKI yang tersebar di seluruh dunia sebenarnya jumlahnya cukup besar, tetapi tidak sampai berpengaruh pada kebudayaan karena tempat dan peran yang berpencar. Suriname adalah sebuah negara di Benua Afrika dengan penduduk yang multietnis berjumlah hanya sekitar setengah juta orang.

Etnik Jawa merupakan salah satu dari tiga etnik terbesar di samping Hindustan sebesar 135.000, Maroons 72.000 lebih, dan Jawa hampir 72.000 atau sekitar 15%. Sejarah masuknya pekerja Jawa ke Suriname dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda yang juga mengadministrasi Suriname.

Karena adanya peraturan pembebasan budak, saat Suriname kekurangan tenaga kerja, pemerintah Hindia Belanda pun merekrut tenaga kerja Indonesia untuk dipekerjakan di sektor perkebunan. Upah yang relatif tinggi, yaitu 40 sen gulden untuk pria dan 30 sen gulden untuk wanita per hari, tentu saja lebih besar atau menjadi daya tarik keluarga petani dari Indonesia.

Kepindahan orang Jawa ke Suriname bukan paksaan, melainkan sukarela dengan daya tarik upah. Sejak 1890 sampai awal abad ke-20 diberangkatkan sampai 33.000. Tahun-tahun itu di Eropa sudah terjadi revolusi perburuhan di mana serikat pekerja mulai diizinkan dan upah menjadi perkecualian harga yang tidak ditentukan oleh mekanisme pasar, tetapi melalui tawar-menawar atau perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja dan tentu saja pemerintah yang berkepentingan agar industri tetap tumbuh.

Pekerja-pekerja Jawa yang datang ke Suriname bagaimanapun adalah orang merdeka. Sebagai tenaga kerja yang merdeka mereka bisa mengembangkan diri dan menjaga kebudayaan. Bahasa Jawa masih digunakan sampai sekarang, bahkan tidak lebur dan disebut sebagai budaya yang kuat.

Budaya-budaya umum seperti Ramadan dan saling berkunjung saat Idul Fitri yang merupakan budaya keagamaan khas Indonesia tentu ditemukan di sana. Suriname adalah anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Mereka bisa mengapresiasi kesenian sampai setaraf wayang kulit dengan diundangnya beberapa dalang untuk pentas di sana, tetapi karena diduga yang berangkat hanya setingkat pekerja, mereka tidak bisa mengembangkannya sendiri.

Wayang kulit terlalu rumit dan tinggi untuk bisa dimainkan dengan baik. Kesenian rakyat yang lebih mudah dimainkan seperti reog ponorogo sebenarnya lebih mudah dikembangkan di Suriname. Namun seperti TKI sekarang yang dihimpit ekonomi, sulit dibayangkan membawa peralatan reog yang cukup mahal dalam bermigrasi; di sini peran politik kebudayaan global seharusnya dilakukan.

Sekarang, marilah kita bandingkan dengan negara serumpun Malaysia. Hubungan dengan Malaysia tentu saja sudah sangat lama, sama dengan usia manusia Melanesia itu sendiri. Sebelum negara formal dibentuk, hubungan budaya, perdagangan, dan ketenagakerjaan dengan Malaysia tercipta sangat alami.

Studi Profesor Ida Bagus Mantra (1998) menyebutkan adanya gelombang migrasi dari sejak awal abad ke-20 untuk memenuhi kebutuhan pekerja perkebunan Pemerintah Inggris di Malaysia. Gelombang pekerja masuk ke Malaysia dari berbagai daerah, antara lain Nusa Tenggara Barat dan Timur, Bawean, dan gelombang migrasi dari Sumatera yang bahkan berlangsung jauh sebelum masa itu.

Orang-orang Bawean yang pergi haji ke Mekkah sering bekerja dulu di Malaysia dan Singapura dan banyak orang sekembalinya dari Mekkah menetap di Malaysia. Dalam sensus pada 1950 saja sudah ditemukan hampir 190.000 orang berasal dari Jawa, 60.000 dari Kalimantan Barat, 26.000 dari Sumatera, 24.000 dari Bawean, dan 7.000 dari Sulawesi. Data itu masih ditambah TKI akhir-akhir ini yang mencapai lebih dari 1,2 juta orang.


Pertanyaannya, mengapa Suriname yang jauh rasanya justru dekat dibandingkan dengan Malaysia yang sangat dekat dan migrasinya berlangsung alami sejak lama? Budaya Jawa yang dikembangkan di Suriname membuat kita bangga dan rela bahwa bahasa Jawa dan budayanya dibawa begitu jauh. Suriname adalah duta Jawa. Malaysia tentu saja memiliki akar budaya yang sama bukan saja dengan Melayu, tetapi juga dengan Bawean, Jawa, dan NTB.

Namun mengapa Malaysia sekarang terasa jauh? Pertama karena Malaysia diadministrasi oleh Inggris dan kita oleh Belanda. Dua administrasi tersebut membawa dampak politik setelah terbentuknya negara modern. Kedua, konflik antara Soekarno dengan ekonomi komandonya dan Barat dengan ekonomi pasar yang berbasis kapital.

Malaysia disebut sebagai antek Barat oleh Soekarno karena lebih dulu menerima ekonomi pasar dan peran kapital dalam mengembangkan perkebunan dan industrinya. Tanpa sadar kita memiliki rivalitas dengan Malaysia. Perbedaan pilihan politik dan ekonomi tidak menghalangi masyarakat dan budayanya yang lebih longgar dari administrasi negara.

Penduduk Indonesia yang besar dan eksperimen ekonomi komando Soekarno yang gagal mengakibatkan upah dan penghasilan umum yang rendah. Sementara kapital dan pasar serta ekspor ke negara asal kapital berhasil menciptakan lapangan kerja dan upah yang lebih tinggi di Malaysia. Hal tersebut mendorong lebih deras TKI baik yang legal maupun ilegal yang tidak lain adalah hubungan budaya yang sudah lama terjadi sebelum lahirnya negara dan administrasi negara modern.

Sekarang Indonesia adalah negara kapitalis dengan mekanisme pasar yang datang agak terlambat dibandingkan Malaysia. Era Orde Baru memang sudah mulai membuka diri, tetapi era Reformasi adalah era di mana pasar dan kapital bekerja lebih jauh. Pasar artinya kesukarelaan atau kemerdekaan sepanjang terdapat informasi yang terbuka, misalnya kasus penganiayaan; kita tidak dapat menghalangi warga untuk memasuki Malaysia.

Perbedaan upah dan nasib di dalam negeri yang tidak lebih manusiawi mungkin mendorong TKI, khususnya TKW, untuk tetap mengadu nasib ke negeri jiran itu. Negara adalah politik, pabean, dan hukum, sedangkan kebudayaan dan lalu tenaga kerja berinteraksi lebih merdeka dan sukarela. Politik budaya kita di mancanegara juga harus dipikirkan ulang.

Kita harus mengkaji apakah bahasa Jawa dan budaya Jawa masih bertahan di Suriname, ini adalah aset nasional yang ke depan bisa sangat bermakna secara politis dan ekonomis. Lihatlah China, budayanya dikembangkan di mana-mana, tari leong dibawa ke Indonesia, bahkan dimainkan bersama dengan pribumi. Di London perayaan Imlek diramaikan oleh warga setempat. Rumah makan China di Chinatown di London diserbu oleh konsumen yang mayoritas orang setempat.

Di jalan protokol Washington setengah kilometer dari gedung putih terpampang gerbang "Anda memasuki Chinatown" dan sepanjang jalan itu tulisan China, makanan China, dan ritel sangat signifikan. Harga-harga tanah di jalan protokol itu mahal. China bukan saja tidak melarang budayanya dikembangkan oleh imigrannya, tetapi bahkan mungkin didukung penuh oleh negara.

Sekarang jika turis ingin membeli oleh-oleh dari Washington dengan harga murah akan dibawa ke factory outlet (FO) di mana dijual barang-barang yang diimpor dari China oleh imigran China sendiri. Harga jual di FO sekitar seperlima sampai seperenam dibanding harga suvenir di toko lain. Hubungan dan wawasan global China berhasil membuat internal trading skala dunia dan membawa cadangan devisa sangat kuat.

China dapat memainkan cadangan devisanya apabila secara politik terganggu oleh Barat. Ditambah dengan kemampuan teknologinya China menyeruak menjadi superpower dunia. Semua itu dijalankan dengan skenario dan tidak dengan hura-hura serta aksi reaktif.

Prof Bambang Setiaji 
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sumber: Politik Budaya antara Malaysia dan Suriname

Ciri Kecanduan Internet: Main 5,7 Jam/Hari

BEIJING - Bila Anda menghabiskan waktu sekira 5,7 jam sehari atau 40 jam per pekan, ada baiknya Anda berkonsultasi dengan psikolog.

Pasalnya sejumlah psikolog dari Peking University dan Central South University di China mengungkapkan, berselancar di dunia maya lebih dari 5,7 jam sehari merupakan ciri orang kecanduan internet.

Kecanduan internet memang menjadi masalah tersendiri bagi generasi muda di China. Kecanduan tersebut disinyalir dapat mengganggu kepribadian generasi manusia.

Tapi penelitian tersebut, mendapatkankan reaksi beragam dan kritik dari sejumlah pengguna internet di China yang mencapai 338 juta orang.

"Kecanduan internet tak bisa dinilai dengan mudah seperti hanya dengan bermain 40 jam," kata Profesor Tao Hongkai, dari Central China Normal University, Wuhan seperti dilansir Sina, Jumat (4/9/2009).

Hongkai menambahkan, penilaian kecanduan internet hanya berdasarkan waktu bermain tak bisa diterima. "Bagaimana dengan orang yang harus bekerja di internet lebih dari 40 jam?" tanyanya.

Hingga saat ini, China memang dinilai sebagai negara dengan populasi online terbesar. Dari 338 juta pengguna internet yang di dominasi oleh kelompok umur 18 hingga 30 tahun, 10 persennya diperkirakan mengalami kecanduan.

Untuk mengatasi masalah kecanduan ini, China melakukan beberapa upaya termasuk melakukan penyuluhan dan sosialisasi yang melibatkan guru, dokter bahkan orang tua murid.

Sumber: Ciri Kecanduan Internet: Main 5,7 Jam/Hari

Ponsel 400% Berisiko Sebabkan Kanker

STOCKHOLM - Sejumlah peneliti mengingatkan agar pengguna ponsel memperhatikan intensitas penggunaan telepon seluler. Pasalnya sebuah studi terbaru di Swedia mengungkapkan, ponsel meningkatkan 400 persen resiko kanker bagi penggunanya.

Hasil laporan setebal 37 halaman yang dikeluarkan International EMF (Electromagnetic Field) Collaborative itu mengungkapkan bahaya radiasi ponsel terutama pada anak-anak. Studi dilakukan di 13 negara di wilayah Eropa Barat.

"Sejumlah negara sudah siap untuk memblokir ponsel bagi anak-anak, Perancis bahkan telah mengeluarkan instruksi agar ponsel bagi Anak-anak Sekolah Dasar hanya digunakan untuk berkirim pesan," ujar peneliti EMF Collaborative, Lloyd Morgan seperti dilansir PC World, Senin (31/8/2009).

Diakui Morgan, ponsel memang sangat berguna dalam kehidupan manusia, tapi sebaiknya penggunaannya diatur agar dikemudian hari tak terjadi gelombang kanker dan tumor otak yang melanda seluruh dunia.

"Saya tak mengharapkan seperti itu, tapi ada baiknya kita mulai mawas diri," kata Morgan.

Morgan mengungkapkan, resiko terbesar seorang anak atau remaja terserang kanker otak adalah melakukan percakapan via ponsel dalam waktu yang lama. Selain itu, mengantungi ponsel dalam kantong celana atau membiarkan anak-anak tidur di dekat ponsel yang sedang aktif juga dapat merusak kesehatan.

Sumber: Ponsel 400% Berisiko Sebabkan Kanker

Meksiko Cabut Larangan Berponsel di Pesawat

MEXICO - Para penumpang pesawat di Meksiko kini bisa melakukan panggilan telepon atau mengirim SMS selama mereka di dalam pesawat. Pemerintah Meksiko telah mencabut larangan menggunakan ponsel di udara.

Yahoo Tech News, Rabu (2/8/2009) melansir, kebijakan ini muncul berkat salah satu teknologi terbaru dalam penerbangan pesawat. Departemen Komunikasi dan Transportasi Meksiko menyebutkan, pengembangan sebuah teknologi memungkinkan penumpang pesawat menggunakan ponsel dan perlengkapan elektronik lainnya ketik dalam perjalanan udara.

Namun sayangnya, pejabat terkait belum mau menyebutkan dengan rinci mengenai jenis dan cara kerja teknologi tersebut.

Larangan menggunakan ponsel di pesawat selama yang sempat berlaku selama delapan tahun silam ini resmi dicabut Departemen Komunikasi dan Transportasi Meksiko pada 2 September 2009 kemarin.

Seperti dikatahui, banyak negara yang mengeluarkan larangan menggunakan ponsel di pesawat, karena dikhawatirkan sinyal ponsel atau peralatan elektronik lainnya akan menggangu penerbangan.

Uni Eropa dan Malaysia telah membuat kebijakan serupa pada tahun lalu. Sementara Amerika sampai saat ini masih melarang peggunaan ponsel pada saat di pesawat.

Sumber: Meksiko Cabut Larangan Berponsel di Pesawat